KamuCariApa? – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sebuah istilah yang rasanya cukup terdengar di Tanah Air selama beberapa terakhir. Ia datang seperti hujan deras tak diundang, tapi sukses bikin semua orang kelimpungan.
Tak melulu perusahaan rintisan, kini perusahaan-perusahaan besar kenaamaan juga banyak yang mendadak memangkas karyawan demi efisiensi. Dari lingkup media mainstream, terdengar sejumlah nama besar yang mulai mengurangi karyawan dengan beragam pertimbangan untuk keberlanjutan roda perusahaan di masa depan.
Kabar PHK yang santer belakangan ini tak hanya mengguncang mental para pekerja. Di sisi lain, ada dampak nyata yang segera menyusul, yakni penambahan angka pengangguran.
Sebagian dari mereka yang beruntung mungkin bisa langsung bekerja lagi di perusahaan lain atau banting setir jadi pengusaha. Sementara sebagian lainnya harus kembali menyandang status pencari kerja atau istilah kekiniannya “Jobseeker”.
Sudah Waktunya “P Info Loker”
Gelombang PHK bukan bualan semata, tetapi benar-benar terjadi, termasuk di lingkungan penulis ini. Satu per satu teman mulai update status pamit di LinkedIn dan langsung memasang atribut #Opentowork. Yup, ini bisa disebut sebagai tanda Jobseeker Mode: ON.
Namun, perjalanan tak lantas langsung tamat, bahkan baru dimulai. Selesai pasang #Opentowork, jobseeker ini harus rajin-rajin cari informasi lowongan kerja (loker), bisa dari koneksi yang terhubung, teman, kerabat, portal job, dan lain sebagainya.
Ya, tentu itu semua tak menjamin kita bisa mendapatkan langsung pekerjaan pengganti. Boro-boro langsung deal kontrak, dipanggil interview saja kadang-kadang sudah “Alhamdulilah”, setidaknya ada progress yang berjalan.
Tak semudah yang diharapkan, ternyata mencari kerja itu sekarang memang susah. Bahkan, teman saya bilang cari loker yang cocok itu lebih susah daripada mencari pacar
Katanya, jika mencari pasangan, paling ditolak satu atau dua kali. Nah, lowongan? Bisa ditolak sepuluh dalam sehari.
Bersaing untuk Bisa Diterima Kerja
Bicara persaingan, jobseeker juga punya aspek itu lho. Lagi, persaingan di antara jobseeker ini berbeda dengan bentuk persaingan lain.
Persaingan jobseeker itu cukup kompleks. Dibandingkan persaingan karyawan perusahaan agar bisa mencapai KPI dan nilai bagus dari atasan, kompetisi di kalangan jobseeker lebih berdarah-darah.
Bukan bermaksud lebay, tapi ya memang itu fakta kok. Selain merancang CV dan portofolio terbaik, jobseeker perlu memperhatikan hal-hal lain agar proses pencarian kerjanya berjalan optimal.
Pertama, sebut saja relasi. Aspek ini menjadi penting karena tidak semua loker itu dipublikasikan lewat job portal atau sejenisnya. Berdasarkan pengalaman, ada sebagian yang hanya ditawarkan melalui relasi yang dimiliki, seperti koneksi LinkedIn, eks atasan, mantan dosen kita di universitas hingga mantan pacar yang mungkin sudah lama tak berjumpa.
Beranjak dari relasi, jobseeker juga perlu memperhatikan aspek lain yang tak kalah penting. Misal, strategi apply job (Jam/Waktu yang tepat untuk kirim CV, cari persyaratan yang sesuai) hingga membuang idealisme dalam diri.
Maksud membuang idealisme di sini adalah bersikap lebih realistis. Saat mencari kerja, tentu kita ingin pekerjaan sedemikian rupa dengan bayaran tinggi plus bonus lain.
Namun, fakta di lapangan tidak selalu indah sebagaimana pemikiran idealis kita. Nah, di sini jobseeker perlu memilah dengan tepat meski harus membuang idealisme yang tertanam di diri sendiri.
Misalnya ekspektasi gaji kita dua digit dengan pekerjaan A, tetapi perusahaan hanya menawarkan angka di bawahnya. Tak boleh gambling dengan menolaknya hanya karena gaji kurang sesuai, jobseeker perlu mempertimbangkan hal-hal lain agar tidak menyesal.
Jobseeker vs Jobseeker
Menyandang status jobseeker harus kuat mental. Kita bangun pagi, lalu buka email, cek folder spam (barangkali HRD-nya nyasar), lanjut scroll job portal yang isinya makin absurd.
Setelah menelusuri berbagai kemungkinan penyebab susahnya mencari kerja di era sekarang, ada satu hal menarik yang rasanya layak diperhatikan. Kaitannya tentang angka pengangguran yang tinggi, sehingga membuat persaingan di antara para jobseeker semakin tak kondusif.
Jika melihat data, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa angka pengangguran di Indonesia sudah mencapai lebih dari 7 juta per Februari 2025. Apabila dibandingkan setahun sebelumnya, angka ini naik 83,45 ribu orang.
Tingginya angka pengangguran jelas memunculkan efek domino, termasuk membuat semakin sulitnya jobseeker mencari kerja. Bayangkan saja, jika sebelumnya mereka bertarung dengan 10 kandidat, masuknya jobseeker lain imbas PHK akan membuatnya melawan 20 hingga 100 kandidat.
Jobseeker: Profesi Tak Bertuan
Sedihnya lagi, jobseeker itu kerap dipandang buruk oleh orang lain. Dibilang suka menganggur, padahal setiap hari kita cari lowongan, update CV, ikut webinar, ngedit portofolio, sampai nge-track lamaran.
Lebih sakit lagi kalau ada tetangga yang mulai menyinggung latar belakang Pendidikan. “Lulusan kampus mahal, kok masih nganggur?”. Jleb banget nggak sih?
Memang si, anggapan atau omongan tetangga itu tidak perlu diladeni. Namun, tetap saja komentar-komentar kurang baik itu sesekali masuk ke hati dan membuat sedih.
Apa pun itu, jobseeker harus tetap menerimanya karena termasuk bagian berproses. Di tengah ketidakpastian, kita masih punya mimpi dan semoga harapan tersebut akan segera bertemu dengan HRD yang baik hati. Tetap semangat untuk para jobseeker!
Salam hangat dari penulis.