Lulusan Perguruan Tinggi Dilarang Nganggur? Perihal Ekspektasi, Kenyataan, dan Beban Psikologis
KamuCariApa – “Lulusan kuliah dilarang nganggur.” Kalimat ini kerap terdengar seakan-akan seperti perintah tak tertulis. Pertanyaannya, apa hal semacam itu layak diungkapkan?
Lulus jenjang perkuliahan menjadi kebanggaan tersendiri bagi seorang mahasiswa. Namun, ada sebuah ekspektasi sosial yang segera dibebankan kepada para sarjana ini begitu mereka melepaskan toganya.
Tak lama setelah perayaan kelulusan, mereka harus bersiap menghadapi tuntutan berat untuk segera menemukan pekerjaan. Seolah-olah itu adalah satu-satunya tujuan dari gelar yang telah diraih, tak ada kata ampun untuk namanya kegagalan.
Ekspektasi dan Kenyataan Lebih Sering Tak Senada
Apa mau dikata, realitas yang dihadapi para lulusan perguruan tinggi justru sering jauh dari ekspektasi. Proses mencari pekerjaan menjadi perjuangan sulit yang melelahkan.
Tak jarang, momennya menjadi sebuah fase kritis yang sayangnya justru diiringi pandangan negatif dari masyarakat. Kesulitan mendapat pekerjaan memicu stigma yang kemudian memperberat tekanan psikologis di dalam diri mereka.
Usut punya usut, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para lulusan perguruan tinggi dalam sulitnya mendapat pekerjaan ternyata bukan karena kekurangan ilmu. Hal ini karena mereka sangat jarang atau sulit mendapat kesempatan.
Memasuki era dengan perubahan serba cepat ini, mungkin banyak perusahaan lebih suka mencari kandidat dengan pengalaman kerja. Namun, pengalaman pun sekarang tidak mudah didapatkan.
Alasannya sederhana. Kini, lowongan kerja yang tersedia bersifat sangat kompetitif. Bayangkan saja, satu posisi bisa diperebutkan oleh puluhan, bahkan ratusan pelamar yang sama-sama butuh makan.
Belum lagi, banyak juga perusahaan yang mencari kandidat untuk bisa handle lebih banyak tugas. Misal, posisi penulis artikel diwajibkan juga menguasai bidang SEO Specialist, bahkan edit video.
Jelas, persyaratan seperti di atas sulit dipenuhi oleh sebagian dari mereka yang selama ini belum diberi kesempatan untuk berpengalaman. Hal tersebut juga bakal menciptakan ketidakpastian yang memaksa mereka untuk terus belajar dan beradaptasi lagi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dilakukan dalam semalam.
Stigma Masyarakat Tentang Sulitnya Mencari Kerja Bagi Lulusan Kuliah
Terlepas dari pergolakan yang sedang dihadapi, di sisi lain masyarakat juga tak jarang gagal memahami kompleksitas perjuangan dalam mencari pekerjaan. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Sudah lulus lama, kok belum kerja?” atau “Kuliah di mana, kok susah banget cari kerjanya?” seringkali dilontarkan tanpa sadar akan dampaknya.
Bagi lulusan perguruan tinggi yang selama ini berjuang keras mencari kerja, pertanyaan-pertanyaan itu jelas bukan dianggap sekadar basa-basi. Sebaliknya, mereka dapat menganggapnya sebagai beban sosial yang menusuk.
Tak jarang, mereka dipandang malas, tidak kompeten, atau kurang berusaha. Ada lagi tuduhan terlalu pilih-pilih atau tidak memiliki “mental baja” untuk menghadapi tantangan.
Padahal, mereka mungkin sudah mengirim ratusan lamaran, mengikuti puluhan tes, dan mengalami banyak penolakan yang menguras mental. Stigma ini menempatkan mereka dalam posisi yang defensif, merasa malu, dan tak jarang berujung stres.
Saya ingat, kondisi ini relate dengan salah satu drama Korea yang pernah ditonton. Judulnya Daily Dose of Sunshine yang dibintangi aktris Park Bo-young.

Pada salah satu karakter bernama Kim Seo-wan, dia divonis mengidap delusi yang membuatnya cukup sering menghayal. Singkat cerita, sebelum terkena penyakit tersebut, dia ini diceritakan sudah gagal lolos tes pegawai negeri berulang kali.
Melalui salah satu adegan flashback, ada pernyataan yang cukup miris dari Kim Seo-wan ini. Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, mungkin jadi seperti ini:
“Siapa yang peduli kita berjuang bertahun-tahun? Usaha kita baru akan diakui ketika lulus. Jika tidak lulus, di mata orang kita hanyalah orang yang kurang berusaha”.
Wow. Terserah apa kata orang lain, tetapi menurutku itu salah satu kalimat yang paling menyentuh selama menonton banyak drakor. Sesakit itu dan ini banyak terjadi di sekitar kita, tentang bagaimana orang ga mau peduli kalau kita gagal.
Dampak Psikologis Berlipat Ganda
Dampak psikologis dari tekanan ganda ini sangat signifikan. Bukan hanya dari penolakan demi penolakan dari perusahaan, namun juga stigma dari orang lain tentang kegagalan kita mendapat pekerjaan.
Setiap kali sebuah email penolakan datang, rasanya seperti kegagalan pribadi yang berulang. Stigma dari keluarga dan lingkungan sosial memperburuk keadaan, membuat mereka merasa sendirian dalam perjuangan.
BACA JUGA: Badai PHK Menerpa, Jobseeker Semakin Merana
Hasilnya, perasaan tidak berharga, kecemasan, dan bahkan depresi bisa muncul. Mereka juga akan lebih sering membandingkan dirinya dengan teman-teman yang sudah sukses.
Kabar buruknya lagi, lingkaran setan ini sulit diputus. Selain kondisi mental memburuk, motivasi dari mereka untuk terus berusaha mencari pekerjaan juga ikut menurun dan terjebak dalam kondisi apatis.
Dari situ, bisa dipahami bahwa penting bagi kita sebagai masyarakat untuk mengubah perspektif. Alih-alih menyalahkan mereka, kita perlu memberikan dukungan dan pemahaman.
Cukup akui saja bahwa masa transisi untuk mendapat pekerjaan itu tidak selalu mudah. Hal ini dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang lebih suportif.
Bagus lagi, jika kita bisa berempati. Misal tanyakan, “Apa yang bisa aku bantu?” daripada “Sudah kerja di mana?”.
Dan teruntuk para pencari kerja yang masih terus berusaha, mari kita rayakan setiap usaha, bukan hanya setiap keberhasilan. Jangan lagi takut dihakimi oleh orang-orang yang bahkan tak mau peduli dengan proses kita.
Pada akhirnya, perjuangan kita selama ini tak lantas menjadi cerminan dari kegagalan pribadi. Terus berjuang dan berdoa, niscaya Tuhan segera memberi kita jawaban dan pekerjaan terbaik, segera!